Selasa, 20 Juli 2010

Kematian hakikat yang gak bs dipungkiri

By H.Firman Zamzami Muhammad Lc

diterjemahkan dari khutbah
DR Said Ramdhan Buthi

Keyakinan yang tidak mungkin dicampuri syak ini menjadikan semua pihak sadar akan pertemuannya dengan kenyataan tersebut. Sehingga sangat wajar, jika Al Qur'an secara lugas pun menamakannya sebagai "Al Yaqiin". Allah berfirman: "Wa'bud Rabbaka hatta
ya'tiyakal yaqiin" (Dan sembahlah Tuhanmu sehingga datang kepadamu keyakinan).

Oleh jumhurul (mayoritas) mufassirin (ahli tafsir), kata "Al Yaqiin" di atas diartikan dengan "al Maut" (kematian).

Berbagai ayat dalam Al Qur'an menguatkan hal ini. Misalnya saja: "Kullu nafsin dzaaiqatul maut" (Setiap jiwa pasti merasakan kematian). Oleh para ulama kita disebutkan bahwa penyebutan "dzaaiqah" (merasakan) pada ayat di atas merupakan indikasi kuat betapa kematian itu pasti terasa begitu pedih. Yang mampu memperingan kemudian adalah Iman dan Amal si mayyit.

Pada ayat yang lain, Allah menjelaskan bahwa: "idzaa jaa ajaluhum laa yasta'khiruuna saa'atan wa laa yataqdimuun" (Jika ajal datang menemui mereka, maka sesaat pun mereka tidak mungkin percepatkan dan tidak pula mereka mampu percepat). Artinya, bahwa semua makhluk itu telah dikonfirmasikan masa dan tempat di mana dia akan menemui ajal. Yang jadi masalah memang, karena kematian adalah bagian dari keghaiban, sehingga masa dan tempat serta sebab kematian masing-masing makhluk masih menjadi rahasia Ilahi. Sebagaimana firmanNya: "Walaa tadrii nafsun fii ayyi ardhin tamuut" (Dan tak seorang jiwapun yang tahu, di belahan bumi mana dia akan menemui maut).

Tersebutlah semua kisah Israiiliyaat, bahwa suatu ketika nabi Sulaeman (yang juga seorang raja besar) sedang bersama dengan perdana menterinya. Pada saat-saat intens berdiskusi dengannya, tiba-tiba datanglah seseorang dengan wajah menakutkan (seram)
dan berpakaian serba putih. Ketika orang tersebut masuk, segera ia menatap dengan mata tajam ke arah perdana menteri Sulaeman tersebut, lalu segera berlalu dan menghilang.

Segera setelah menghilang, sang perdana menteri lalu bertanya kepada Sulaeman: "Siapa gerangan orang tersebut?" Sulaeman menjawaba: "Beliau adalah Malakul maut".

Mendengar jawaban itu, sang perdana menteri bergegas meminta izin ke nabi Sulaeman untuk berangkat ke tempat yang sangat jauh. Yaitu suatu gua yang belum diketahui oleh siapapun di negeri India. Maksudnya adalah untuk bersembunyi dari malakul maut, yang
menurutnya telah memandangnya dengan pandangan tajam, karena ingin mencabut nyawanya.

Singkat cerita, iapun diizinkan oleh Sualeman. Maka berangkatlah ia ke Gua yang jauh tersebut, guna bersembunyi dari malakul maut. Sesampai di depan gua yang dimaksud, rupanya orang tersebut telah berdiri di depan pintu gua itu, dan segera menarik sang perdana menteri dan mencabut jiwanya.

Setelah tugasnya selesai, barulah sang malakul maut kembali menemui nabi Sulaeman. Nabi Sulaeman lalu bertanya: "Kepana engkau memandang perdana menteriku
dengan pandangan yang tajam dan menakutkan?" Sang malakul maut menjawab: "Karena pada saat saya datang tadi, saya menerima telah perintah dari Allah untuk mencabut nyawanya di sebuah gua di India, padahal dia masih berada di sisimu. Itulah sebabnya, saya marah dan memandangnya dengan pandangan murka. Dan segera
setelah itu, saya menuju ke gua itu dan pada detik di mana Allah menentukan untuk saya melakukan tugas, dia tiba di gua yang dimaksud".

Mendengar itu, nabi Sulaemanpun sadar dan segera mengucapkan: "Innalillahi wainna ilaehi raaji'uun"

Cerita di atas agak susah untuk ditentukan tingkat kesahehannya, jika ditinjau dari segi "ruwaah" (periwayat). Namun dari segi "matan" (isi) sesungguhnya menguatkan berbagai ayat yang telah disebutkan terdahulu. Betapa ajal, jika telah tiba tak
satupun yang bisa mempercepat ataupun sebaliknya mengundurkan.

Dalam berbagai syair jahili pun ditemukan betapa orang-orang arab terdahulu meyakini hal yang sama. Potongan syair berikut memang tidak sempurna, namun cukup menggambarkan betapa keyakinan itu ada:

KAM MIN SHIGHAARIN YURTAJAA TUULA 'UMRIHIM
WA QAD UDKHILAT AJSAAMUHUM DZULMATAL QABARI

WA KAM MIN 'ARUUSIN ZUYYINAT LiZAWJIHA
WA QAD QUBIDHAT ARWAHUHAA LAELATAL QADARI

Artinya: "Betapa banyak anak-anak kecil diharapkan berumur panjang, tiba-tiba saja jasadnya telah ditanam dalam kegelapan kubur.
Betapa banyak penganting yang dihiasi untuk pasangannya, tiba-tiba saja ruhnya telah
diambil pada malam yang dinanti-nanti".

Itulah kematian, tiada yang tahu, tiada pula yang dapat memastikan. Namun datangnya adalah diyakini serta dipastikan. Sehingga wajar, jika Iblis pun menyatakan
"Rabbi anzhirni illa yawmi yub'atsuun" (Ya ALlah panjangkan umur saya, hingga hari di mana mereka dibangkitakan). Iblis yakin akan mati. Sehingga ia dengan segala kesadaran meminta panjang umur. Kalaulah sebangsa Iblis sadar akan kematian,
apa lagi yang namanya manusia.

Di beberapa tempat, kita dengar, seseorang yang masih dalam keadaan segar bugar, berkuasa, kaya raya, serta dikawal olehprajurit-prajurit tangguh, namun dengan penuh
kesadaran mempersiapkan kuburannya yang mewah. Ini semua, tak lain adalah indikasi betapa kematian sudah menjadi "mujma' 'alaih" (semua pihak sepakat) akan datangnya.

Hanya saja, yang menjadi permasalahan besar, keyakinan ini ternyata disikapi secara bodoh oleh kebanyakan manusia. Sehingga semua orang yakin akan mati, tapi betapa sedikit yang mempersiapkan akan kematian itu. Inilah sebabnya, suatu ketika Rasulullah SAW ditanya
tentang siapa yang paling berakal?
Beliau menjawab:"Al Qayyis man daana nafsahu wa 'amila limma ba'dal maut" (Orang yang berakal itu adalah yang selalu mengadakan muhsabah pada dirinya, serta berbuat untuk kehidupan sesudah kematiannya).

Apakah kita sufah berakal? Atau masihkah kita termasuk orang-orang yang berpura-pura pintar, namun sesungguhnya tergolong orang-orang yang bego? Silahkan disimak lewat sikap kita dalam menghadapi kenyataan terbesar dala kehidupan manusia ini. Wallahu
A'lam!